Pada suatu hari Khalifah Umar Al-Khattab RA didatangi beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Wahai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawapan kepada kami, barulah kami mengaku bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, bererti bahawa agama Islam itu batil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
.
“Silakan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar. “Jelaskan kepada kami tentang ibu kunci yang mengunci langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibunya! dsb.
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!” Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahawa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah batil!”
Salman Al-Farisi yang ketika itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kamu tunggu sebentar!” Ia segera pergi ke rumah Saidina Ali bin Abi Talib k.w.j. Setelah bertemu beliau, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!” Saidina Ali k.w.j. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?” Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.
Sayidina Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup bahu atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Talib datang, ia bangun lalu memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Talib berkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Talib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, iaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, bersedialah memeluk agama kami dan beriman!” “Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Talib.
Mereka mulai bertanya:
"Apakah ibu kunci yang menutup pintu-pintu langit?”
Jawab Ali bin Abi Talib: “Ibu kunci itu ialah syirik kepada Allah.
Sebab semua hamba Allah, baik pemuda mahupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kepada Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Talib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahawa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar!”
Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
Jawab Ali: “Kuburan itu ialah ikan yu yang menelan Nabi Yunus putera Matta. Nabi Yunus AS dibawa keliling ke tujuh laut !”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Talib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Daud as. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diipijak oleh Sulaiman dan pasukannya dalam keadaan mereka tidak sedar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya!”
Ali bin Abi Talib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Saleh. Keempat, Qibash/Kambing Nabi Ibrahim. Kelima, Ular yang menjelma dari tongkat Nabi Musa,.
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawapan-jawapan serta penjelasan yang diberikan oleh Saidina Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahawa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
.
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Talib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah beriman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.” “Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Saidina Ali.
“Cuba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Abi Talib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada RasulNya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Quran kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, cuba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Talib kemudian membetulkan kedudukannya, didirikan lututnya diikat dengan burdah ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahawa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus. Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat bongkak dan zalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berjaya menguasai kota Aphesus. Lalu kota itu dijadikan ibu kota kerajaan, dan dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, cuba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Saidina Ali bin Abi Talib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, dibuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Tiang-tiangnya yang berjumlah seribu buah, semuanya dibuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya dibuat dari emas. Lampu-lampu itu bergantungan pada rantai-rantai yang dibuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam sentiasa dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgahsana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya dibuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi dibuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgahsana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, cuba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
Sayyidina Ali ra menjawab, “Wahai saudara Yahudi, mahkotanya terbuat dari emas cetakan yang mempunyai sembilan pucuk. Pada setiap pucuk terdapat lampu yang bersinar laksana lampu yang bersinar di malam yang gelap. Dia memiliki lima puluh remaja dari anak para panglima. Mereka berpakaian dibuat dari sutera merah dan seluar yang dibuat dari sutera hijau. Mereka memakai mahkota, gelang tangan dan gelang kaki yang dibuat dari emas berkilauan. Dia juga jadikan enam pemuda dari kalangan ulama sebagai menteri-menteri. Dia tidak akan menetapkan satu keputusan tanpa berdiskusi dengan mereka. tiga orang dari mereka berdiri di sebelah kanan dan tiga orang di sebelah kiri raja.”
Yahudi berkata, “Wahai Ali! Jika Anda benar, beritahu aku siapa nama enam orang itu?”
Sayyidina Ali ra menjawab, “Kekasihku Muhammad saw bercerita padaku, bahwa tiga orang yang di sebelah kanan adalah Tamlikho, Muksalmina, dan Muhsalmina. Sedang yang di sebelah kiri Marthuliyus, Kaythus, dan Sadaniyus. Raja itu sentiasa meminta pendapat dari mereka dalam segala urusannya. Jika ia duduk di singgasananya yang mewah setiap hari, orang-orang pun berkumpul di sekitarnya, maka datanglah tiga pemuda dari sebuah pintu. Di tangan salah seorang dari mereka terdapat gelas emas yang berisi minyak kesturi (misk). Di tangan pemuda kedua adalah gelas perak berisi air mawar, serta di tangan pemuda ketiga bertenggek seekor burung yang cantik. Jika yang satu berteriak, maka burung itu terbang menuju gelas yang berisi air mawar, lalu ia mandi dengan air mawar itu. Bulu dan sayapnya menyerap air mawar yang wangi.
Jika yang kedua berteriak, maka si burung terbang menuju gelas yang berisi minyak wangi (misk). Burung kecil itu pun mandi dan menyerap minyak wangi dengan bulu dan sayapnya. Kemudian jika yang ketiga berteriak, maka burung itu terbang menuju mahkota raja untuk kemudian mengibaskan bulu dan sayapnya di atas kepala raja.
Raja itu memegang kekuasaannya selama tiga puluh tahun tanpa pernah mengalami sakit kepala, panas, selsema, dan sakit lainnya. Melihat keadaan dirinya seperti itu, ia menjadi bongkak dan angkuh, sehingga dia mengakui dirinya sebagai tuhan (Rabb). Dia mengajak menteri dan rakyatnya untuk menyembah kepada dirinya. Setiap orang yang menerima pengakuan dirinya sebagai tuhan, akan diberi hadiah dan mendapat keistimewaan, sedangkan yang enggan untuk menerimanya akan disiksa dan dibunuh. Akhirnya mereka tunduk kepada keinginan raja. Menteri dan penjaga istana menganggap dia sebagai tuhan selain Allah swt.
Suatu hari di saat pesta berlangsung, raja duduk di atas singgasana sambil mengenakan mahkota di atas kepalanya. Tiba-tiba muncul beberapa panglima menyampaikan berita, bahwa pasukan Parsi telah bersedia untuk membunuh raja. Raja amat panik, hingga mahkota yang dikenakannya jatuh dari atas kepala, sedang ia sendiri terjungkal dari singgasana. Salah seorang dari tiga pemuda yang berada di samping raja menyaksikan hal tersebut. Dia adalah si cerdik bernama Tamlikho. Pemuda itu berfikir dan berkata dalam hatinya, “Jika Diqyanus (raja) adalah tuhan seperti yang ia akui sendiri, pastilah ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak kencing atau buang air. Karena semua bukan sifat dari Tuhan.
Setiap hari enam pemuda tersebut selalu berkumpul di tempat salah seorang dari mereka. Setelah terjadi peristiwa tadi, mereka tengah berkumpul di tempat Tamlikho, namun Tamlikho tidak ikut makan dan minum. Mereka bertanya, “Wahai Tamlikho, mengapa engkau tidak makan dan minum?” Tamlikho menjawab, “Wahai saudara-saudaraku, telah terjadi sesuatu dalam hatiku, ini yang mencegahku makan, minum dan tidur.
Mereka bertanya, “Apa itu wahai Tamlikho?”
Dia menjawab, “Aku lama sekali berfikir tentang langit. Aku berkata, “Siapa yang meninggikan langit menjadi atap yang kukuh tanpa ada pengikat di atasnya dan tanpa tiang penyangga di bawahnya? Siapa yang menjalankan matahari dan bulan? Siapa yang menghiasi langit dengan bintang gemintang? Lalu aku lama termenung tentang bumi ini, siapa yangmenjadikannya terapung di alas permukaan laut? Siapa yang menahan dan mengikatnya dengan gunung-gunung yang kukuh agar tidak tenggelam?”
Kemudian aku berfikir tentang diriku. Aku berkata,
“Siapa yang mengeluarkanku dari rahim ibu? Siapa yang memberiku makan dan membimbingku? Sungguh ada Pencipta dan Pengatur semua ini selain Diqyanus.”
Lima pemuda tadi tersungkur ke lantai, mencium kedua kaki Tamlikho dan berkata, “Wahai Tamlikho, sungguh telah terjadi di hati kami apa yang telah melanda hatimu. Berilah kami petunjuk!”
Tamlikho berkata, “Wahai saudara-saudaraku, aku tidak mendapatkan jalan untukku dan untuk kalian, selain lari dari penguasa zalim menuju Penguasa langit dan bumi.”
Mereka berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapatmu.”
Tamlikho bangkit membeli kurma dengan wang tiga dirham, lalu menyimpannya di dalam selendang. Mereka naik kuda dan pergi ke luar kota. Setelah berjalan sejauh tiga batu dari kota, Tamlikho berkata, “Saudaraku, telah hilang dari kita raja dunia dan kekuasaannya. Turunlah dari kuda dan berjalanlah, semoga Allah memudahkan urusan kalian dan memberikan jalan keluar kepada kita.”
Mereka pun turun dari kuda dan berjalan kaki sejauh tujuh farsakh, sampai kaki mereka berdarah kerena tidak terbiasa.
Tiba-tiba seorang penggembala menghampiri mereka…
Tamlikho bertanya, “Wahai penggembala, apakah engkau memiliki seteguk air atau susu?”
Aku punya apa yang kalian inginkan, tetapi aku lihat wajah kalian adalah wajah-wajah para raja. Menurutku kalian melarikan diri. Ceritakan pengalaman kalian kepadaku!
Kami memeluk agama yang melarang berbohong. Apakah kejujuran membuat kami selamat?
Maka mereka pun menceritakan apa yang mereka alami. Si penggembala langsung tersungkur mencium kaki mereka sambil berkata, “Sungguh terjadi di hatiku apa yang terjadi di hati kalian.
Si penggembala meminta mereka menunggunya. Sementara dia mengembalikan kambing-kambing kepada pemiliknya.
Mereka menunggu sampai si penggembala kembali, tapi kali ini dia kembali dengan diikuti seekor anjing.
Ketika para pemuda itu melihat anjing, satu sama lain saling berbicara…
Kami khawatir anjing ini akan membuka rahasia kita dengan gonggongannya.
Mereka minta dengan sangat agar di penggembala mengusir anjingnya dengan batu.
Anjing itu berwarna hitam pekat dan namanya Qithmir. Ketika anjing itu melihat gelagat mereka, anjing itu pun lalu duduk dan dapat berbicara, “Wahai manusia, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu atas-Nya. Izinkan aku menjaga kalian dari musuh yang akan mengganggu kalian. Aku ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan hal itu.” Lalu mereka pun mengizinnya ikut serta.
Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan. Sang penggembala mengajak para pemuda itu untuk menaiki gunung dan bersembunyi di dalam sebuah gua.
Orang Yahudi berkata, “Wahai Ali, apa nama gunung itu dan apa nama gua itu?”
Sayyidina Ali ra menjawab, “Wahai saudara Yahudi, nama gunung itu adalah Najlus dan nama gua itu adalah Washid atau Khairam.”
Sayyidina Ali ra melanjutkan ceritanya, “Ternyata di dalam gua itu terdapat beberapa pohon yang berbuah dan mata air yang hening. Mereka memakan buah-buahan dan meminum air tersebut. Ketika malam tiba, mereka masuk ke dalam gua sedangkan anjing itu duduk di pintu gua, sambil menjulurkan kedua kaki depannya. Lalu Allah menyuruh malaikat maut untuk mencabut ruh mereka sementara waktu, dan menugaskan dua malaikat lainnya untuk menjaga dan mengurus setiap orang dari mereka. Kedua malaikat itu membalik-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri dan dari kiri ke kanan.
Allah mewahyukan kepada matahari agar pada saat terbit bercondong dari gua mereka ke sebelah kanan dan ketika terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.
Ketika raja Diqyanus kembali dari upacara, ia bertanya tentang para pemuda itu. Lalu dikatakan kepadanya, bahwa mereka telah meyakini Tuhan selain Raja Diqyanus. Mereka telah keluar dari istana dan melarikan diri darinya. Mendengar hal itu, maka raja pergi dengan depalan puluh ribu pasukan berkuda untuk mencari sang pemuda.
Sampailah sang raja di sebuah gunung dan ia sendiri yang naik ke atas gunung itu, kemudian mendekati sebuah gua. Raja melihat para pemuda yang dicari tengah berbaring, dia yakin para pemuda itu tengah tidur.
Raja berkata kepada anak buahnya, “Kalau aku hendak menyiksa mereka, aku tidak akan menyiksa lebih dari mereka menyiksa diri mereka sendiri. Datangkanlah para tukang bangunan!”
Akhirnya mulut gua ditutup dengan batu-batu dan sang raja berkata, “Katakanlah kepada mereka agar memohon kepada Tuhan mereka yang berada di langit. Jika benar ada, maka Tuhan mereka akan mengeluarkan para pemuda itu dari sini.”
Para pemuda tinggal dan tertidur di dalam gua selama tiga ratus sembilan tahun. Lalu Allah swt menghidupkan mereka kembali ketika matahari mulai terbit. Satu sama lain saling berkata, “Sungguh kami telah lalai dari ibadah kepada Allah swt. Mari kita pergi ke mata air.”
Ternyata mata air dan pohon-pohon telah kering. Salah seorang berkata, “Sungguh ini adalah hal yang sangat aneh. Bagaimana mata air seperti ini menjadi kering hanya dalam tempo satu malam, begitu juga dengan pepohonannya?”
Lalu Allah membuat mereka merasa lapar. Salah seorang berkata, “Siapa di antara kita yang boleh pergi membawa wang ke kota, membeli sesuatu untuk kita makan?
Hendaknya dia teliti jangan sampai makanan itu bercampur dengan lemak babi, seperti tercantum dalam firman Allah.
“Maka utuslah seorang dari kalian dengan (membawa) uang ini ke kota dan lihatlah makanan yang paling bersih.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Tamlikho mengenakan baju penggembala dan berjalan melalui tempat-tempat yang tidak ia ketahui. Ternyata di atas pintu gerbang kota berkibar bendera hijau yang bertuliskan “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa Ruhullah”. Pemuda itu terkejut melihat bendera itu, dan mengusap-usap matanya seraya berkata, “Apakah aku sedang bermimpi.”
Sesaat berlalu ia memasuki kota, dan melewati sekelompok orang yang tengah membaca kitab Injil. Beberapa orang menyapanya hingga ia sampai ke pasar dan menemui pedangang roti. Ia berkata, “Wahai tukang roti apa nama kota ini?”
“Afsus” jawab tukang roti ramah.
Ia bertanya lagi, ”Siapakah rajamu?”
“Abdurrahman”’ jawabnya singkat.
Tamlikho berkata, “Jika Anda benar, sungguh yang kualami ini sangat aneh. Berikan padaku makanan senilai wang dirham ini.”
Wang dirham yang berlaku pada masa Tamlikho berat dan besar, sehingga si tukang roti hairan melihatnya.
Orang Yahudi berkata kepada Ali, “Jika kamu benar-benar tahu, katakan padaku berapa berat dirham itu?”
Sayyidina Ali ra menjawab, “Wahai saudara Yahudi, kekasihku Muhammad saw memberitahuku, bahwa berat dirham itu sepuluh kali dari berat dirham saat ini.”
Sayyidina Ali ra melanjutkan, “Tukang roti berkata kepada Tamlikho, “Wahai pemuda, engkau telah mendapat harta karun? Berikan sebagian kepadaku, jika tidak Anda akan kubawa kepada raja.”
Tamlikho berkata, “Aku tidak mendapatkan harta karun. Dirham ini kuperoleh dari hasil menjual buah-buahan bernilai tiga dirham, tiga hari yang lalu. Aku keluar dari kota ini, sementara penghuninya sedang menyembah raja Diqyanus.”
Penjual roti pun marah mendengarnya, “Tidakkah kamu senang mendapat harta karun, lalu memberikan sebagiannya kepadaku? Mengapa engkau menyebut seorang penguasa zalim yang mengaku dirinya tuhan? Dia telah mati tiga ratus tahun yang lalu. Anda telah menghinaku!”
Tukang roti menangkap Tamlikho, dan orang-orang pun berkumpul. Kemudian ia dibawa menghadap sang raja yang cerdas dan adil, “Apa yang pemuda ini lakukan?”
Mereka pun menjawab, “Orang ini telah mendapat harta karun.”
Raja berkata, “Tenanglah, Nabi kita Isa as membolehkan kita mengambil harta karun, tidak lebih dari seperlimanya saja. Maka serahkanlah kepadaku seperlima dari harta karun tersebut, setelah itu kamu dapat pergi dengan selamat.”
Tamlikho berkata, “Wahai raja, lihatlah masalahku ini. Aku tidak mendapatkan harta karun. Aku penduduk kota ini.”
“Kamu penduduk kota ini?” Tanya raja.
“Ya”, jawabnya.
Raja bertanya lagi, “Apa kamu kenal seseorang di kota ini?”
“Ya”, jawabnya Tamlikho. Kemudian ia menyebutkan kira-kira seribu orang. Namun tak satupun dari mereka yang dikenal oleh mereka yang berkumpul.
Sang raja berkata, “Hai, kami tidak pernah mengenal nama-nama itu. Mereka bukan penduduk zaman ini. Apa kamu punya rumah di kota ini?”
Tamlikho menjawab, “Ya, wahai paduka yang mulia. Utuslah seseorang bersamaku!”
Raja kemudian mengutus beberapa orang untuk pergi bersamanya. Mereka pergi menuju sebuah rumah yang berada di dataran tertinggi kota itu. Mereka sampai di satu rumah dan lalu mengetuknya. Tidak lama kemudian keluarlah seorang tua renta, kedua alisnya panjang terurai ke bawah menutupi kedua matanya.
Pengawal berkata, “Pemuda ini mengaku bahwa ini adalah rumahnya.”
Orang tua itu marah dan menoleh kepada Tamlikho, “Siapa namamu?!”
“Tamlikho bin Filsin”, jawab Tamlikho.
Ulangi lagi!
Tamlokho bin Filsin
Kemudian orang tua itu tersungkur menciumi tangan dan kaki Tamlikho, “Dia adalah abangku. Dia adalah salah seorang pemuda yang lari dari Diqyanus, raja yang zalim, menuju Raja langit dan bumi. Sungguh Nabi Isa pernah mengatakan, bahwa mereka akan hidup kembali di dunia ini.”
Berita tersebut akhirnya sampai ke telinga raja, ia pun segera mendatangi mereka.
Ketika melihat Tamlikho, raja segera turun dari kuda dan mengangkat Tamlikho ke atas pundaknya. Orang-orang pun menciumi tangan dan kaki Tamlikho.
Mereka bertanya, “Hai Tamlikho, apa yang sedang dikerjakan teman-temanmu? Tamlikho memberitahu bahwa mereka berada di dalam gua. Pada saat itu kota Afsus dikuasai oleh dua penguasa, penguasa mukmin dan kafir.
Keduanya lalu berangkat diiringi para pengikutnya. Ketika mereka mendekati gua, Tamlikho berkata kepada mereka, “Aku khawatir saudara-saudaraku mendengar suara kaki kuda dan gemerincing senjata, sehingga mereka anggap Diqyanus telah bersiap menyerang. Mereka akan sangat ketakutan. Oleh karenanya kalian tinggallah di sini sebentar, biarkan aku masuk ke dalam untuk memberitahu mereka.
Mereka pun setuju dan Tamlkho masuk menemui teman-temannya.
Para pemuda tadi langsung merangkul Tamlikho sambil berkata, “Alhamdulillah.” Allah swt telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanus!”
Tamlikho berkata, “Tahukah anda semua, berapa lama kita tinggal di tempat ini?”
“Dua hari satu malam”, jawab mereka.
Tamlikho berkata lagi, “Tidak, tetapi anda tinggal di sini, tiga ratus sembilan tahun!” Diqyanus kini telah mati. Waktu demi waktu telah berlalu dan kini penduduk kota telah beriman kepada Allah Yang Mahabesar.
Mereka berkata, “Wahai Tamlikho, kamu ingini kita berbuat fitnah kepada orang-orang itu?”
Kata Tamlikho, “Lalu apa yang kalian inginkan?”
Mereka berkata, “Angkatlah tanganmu, kami akan mengangkat tangan kami.” Mereka semua mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, demi kebenaran yang Engkau tampakkan kepada kami, berupa keanehan dalam diri kami, cabutlah nyawa kami agar tidak seorang pun mengetahui kami.
Allah swt mengutus malaikat maut untuk mencabut nyawa mereka. Lalu Allah menutup pintu gua.
Kedua raja itu tidak sabar menanti. Mereka segera menyusul Tamlikho kerana terlalu lama menanti.
Dua penguasa tadi mengelilingi gua selama tujuh hari tujuh malam, namun tidak menemukan pintu atau lubang pada gua itu. Mereka berdua yakin bahwa itu adalah kebesaran ciptaan Allah Yang Mahamulia, dan bahwa keadaan ini merupakan pelajaran (‘ibrah) penting yang diperlihatkan kepada kita semua.
Penguasa yang beriman berkata, “Mereka mati atas dasar agamaku dan akan kubangun di atas pintu gua ini, sebuah masjid.” Sementara penguasa kafir berkata, “Tidak! Mereka mati atas dasar agamaku dan akan kubangun tempat peribadatan.”
Akhirnya mereka berperang dan penguasa mukmin mengalahkan penguasa kafir, yang dijelaskan Allah swt: “Dan berkata orang-orang yang menang, akan kami jadikan di atas mereka sebuah masjid” (QS. Al-Kahfi: 21).
Itulah kisah mereka, wahai Yahudi.” Lalu Sayyidina Ali ra berkata, “Aku bertanya kepadamu wahai Yahudi, apakah semua itu sesuai dengan yang ada di dalam Taurat kalian?”
Orang Yahudi itu berkata, “Anda tidak menambah dan tidak mengurangi satu kata pun wahai Abul Hasan. Jangan lagi anda panggil aku Yahudi. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba serta utusan Allah, dan anda adalah orang yang paling pandai dari umat Muhammad ini.”
No comments:
Post a Comment