Qawaid ialah bahasa Arab kata jama’ dari Qa`idah yang memberi erti asas rumah dan sebagainya sepertimana firman Allah S.W.T.;
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127)
Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama- sama Nabi Ismail meninggikan binaan asas-asas (tapak) Baitullah (Ka`abah) itu.” (Al-Baqarah : 127)
Qaidah menurut para fuqaha’ ialah : Hukum kulliy yang dipraktik ke atas keseluruhan masalah juziyyah (detail).
Hukum yang terpakai ke atas kebanyakan masalah-masalah juziyyah (detail).
QAWAID FIQHIYYAH prinsip-prinsip umum dalam fiqh islami yang merangkumi hukum-hukum syara’ yang umum,selaras dengan masalah-masalah yang telah berlaku dan baru muncul yang termasuk di bawah tajuk prinsip berkenaan.
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ الْهُذَلِيِّ قَالَ : كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ : أَمَّا بَعْدُ : فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ ، لَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ ، رَاجَعْتَ فِيهِ نَفْسَكَ ، وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ ، أَنْ تُرَاجِعَ الْحَقَّ ، فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ ، وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ، الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا يَخْتَلِجُ فِي صَدْرِكَ ، مِمَّا لَمْ يَبْلُغْكَ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ، اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ثُمَّ قِسْ الْأُمُورَ عِنْدَكَ ، فَاعْمِدْ إلَى أَحَبِّهَا إلَى اللَّهِ وَأَشْبَهِهَا بِالْحَقِّ ، فِيمَا تَرَى " .
Dari Abu Malih al-Huzalli berkata ; Umar al-Khattab telah menulis kepada Abu Musa al-As'ari fahamilah benar-benar masalah yang engkau hadapi yang mana hukum-hukumnya engkau tidak temui di dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ketahuilah persamaan dan sebanding serta menujulah ke arah yang lebih disukai oleh Allah SWT dan lebih hampir kepada yang benar.
Qaidah-Qaidah itu suatu gambaran yang menarik terhadap prinsip-prinsip fiqh yang umum,membuka ufuk- ufuk dan landasan prinsip itu dari segi teorinya.seterusnya ia memantapkan hukum-hukum furu‟ yang amali•
Kalau tidak wujud qawaid ini maka hukum-hukum fiqh akan merupakan hukum-hukum furu yang terpisah-pisah dan kadang kala pada zahirnya boleh menimbulkan pertentangan antara satu sama lain tanpa dasar-dasar yang dipegang dalam pemikiran yang menerangkan alasan - alasan konkrit yang menentukan arah perundangan dan menyediakan cara-cara mengukur dan membandingkannya.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga fasa berikut:
Fasa Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fasa sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
- Zaman Rasululah SAW
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
1. الخرج بالضمان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. العجماء جرحها جبار ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan dengan hadits jawami’ al-kalam (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan merosakkan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, iaitu hukum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
2. Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid fiqhiyyah di antaranya adalah sebagai berikut:
Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع الحقوق عند الشروط (penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat).
Pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :من قاسم الزبح فلا ضمان عليه (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
- Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Di antara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in:
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i,
Pada fasa kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, iaitu
”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, di antaranya
الأعظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه
(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Di antara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang Abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: اليقين لا يزول بالشك (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
Fasa Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah kerana saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di antara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Menurut Dr. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur di antaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam Al Qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat rancak. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara beransur-ansur.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Sayuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-Subaki dan al-Zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhair. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fasa kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fasa perkembangan dan pembukuan. Fasa ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
Fasa Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
No comments:
Post a Comment