Thursday, November 9, 2017

Sejarah Kaum Mujassimah / Musyabbihah

tajsim


Mereka adalah kaum yang dalam menelaah Al-Qur’an dan Hadits dengan tidak mau mengikuti Imam Mazhab yang empat sehingga mereka bermazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah, berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Pada umumnya mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna di balik yang tertulis atau makna di balik yang tersurat. Jadi dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, mereka menelan dengan mentah-mentah tanpa berpegang teguh dengan penjelasan para salafunassholih dari kalangan ulama ahlussunnah waljmaah yang jelas lebih mengerti maksud dari perkataan Nabi.


Sehingga kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan itu bertempat dan menyerupai sifat-sifat makhluqnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa Tuhan itu bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia. Ada juga orang yang menamakan kaum ini dengan kaum mujassimah yakni kaum yang menubuhkan karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatakan Tuhan bertubuh, bermuka, bermata, bertangan, berkaki. Ada juga orang yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina dina alias kaum “omong kosong”. Kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak berkeyakinan dan tidak beri’tiqod sebagaimana mereka.


Guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah adalah:




  1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarang buku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.

  2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.

  3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam Usuluddin yang berjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.


Sedangkan Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jauzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Al-Jauzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama Hambali yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah. Ibn al Jauzi berkata bahwa:


Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.


Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara ddzohir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.


Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna ddzohir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts). Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”.


Ibn al Jauzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (ddzohir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam ddzohirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”.


Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil atau mencari-cari takwil). Tetapi tuntutan takwil itu timbul ketika ayat-ayat mutasyabihat jika dimaknai secara mentah-mentah akan membuat Allah seakan-akan memiliki sifat makhluq, atau menunjukkan tanda kekurangan Allah. Sebagai contoh jika sebuat ayat itu menunjukkan bahwa Allah bertempat (dibatasi tempat), berpindah atau bergerak (dibatasi ruang dan waktu) maka harus ditakwil dan hilangkan pikiran itu dari pikiranmu karena Allah azza wajalla tidak seperti itu.


Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)


Bermakna:




  • Allah ta’ala tidak berubah

  • Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘Arsy

  • Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya

  • Allah ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya


Jadi kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali namun pada akhirnya mereka dalam mendalami ilmu agama lebih bersandarkan dengan muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shohafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa dan beraqidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)


Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?


Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:


“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dhoif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)


Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i:


“Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” 


Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi pada masa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru”


Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan bagi ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya adalah pelopor ulama shohafi (ulama’ otodidak dan tidak memperhatikan sanad). Beliau berupaya membebaskan pemikiran-pemikiran ummat Islam dari pemikiran yang mengikuti Imam Mazhab yang empat. Pada umumnya kitab dan tulisan Ibnu Taimiyyah tidak merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat dan hanya bersandar pada pendapatnya sendiri, salah satu yang populer adalah Majmu Fatawa. Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang mengusung perlunya membuka kembali pintu ijtihad berlandaskan mazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa dan beri’tiqod (beraqidah) berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.


Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” menuliskan:


Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata:


“Sesungguhnya Arsy tidak kosong; karena dalil-dalil tentang bersemayamnya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam pula. Sedangkan sifat-sifat Allah SWT tidak bisa dikiaskan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Maka wajib bagi kita untuk menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemayam) berdasarkan kedudukannya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbatas, sempit dan hina untuk mengetahui ilmu Allah SWT”


Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa Allah berada (bertempat) di atas ‘Arsy. Arsy tidak kosong walaupun Tuhan turun ke langit dunia setiap masih tersisa sepertiga malam terakhir. Pendapat “Arsy tidak kosong” menunjukkan bahwa Tuhan berada (bertempat) dalam ruang di atas ‘Arsy dan mempunyai bentuk sehingga “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.


Imam Asy Syafi’i rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata :


“Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”


Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:


“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Allah tidak membutuhkan tempat, dan setelah menciptakan arsy ternyata Allah berada di atasnya, berarti Allah berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk).  Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”


Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”


Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:


“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang ddzohirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna (Tuhan kita turun ke langit) yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang ddzohir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna ddzohir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)


Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah subhanahu wata’ala, yakni mempunyai arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata


Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar Ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahpahamannya sehingga beliau wafat di penjara


Sumber


http://daarulfiqih.blogspot.my/2016/02/sejarah-kaum-mujassimah-atau-musyabbihah.html

Jom.. bina istana/rumah dalam Syurga

Ini ada beberapa amalan yang bila diamalkan akan dibangunkan rumah atau istana di syurga. Amalan yang perlu kita lakukan di dunia lagi untuk membina sebuah rumah/istana. Amalan-amalan tersebut adalah:


puyuh


Pertama: Membangun masjid dengan ikhlas karena Allah

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ


“Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di syurga.” (HR. Ibnu Majah, no. 738. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)


Mafhash qathaah dalam hadits ertinya lubang yang digunakan burung untuk meletakkan telurnya dan mengeram di tempat tesebut. Dan qathah adalah sejenis burung (kalau mengikut gambar dalam internet, lebih kurang sebesar burung puyuh atau seumpamanya)


puyuh


Hadits tentang keutamaan membangun masjid juga disebutkan dari hadits ‘Utsman bin ‘Affan. Di masa Utsman yaitu tahun 30 Hijriyah hingga khilafah beliau berakhir karena terbunuhnya beliau, dibangunlah masjid Rasulullah SAW. Utsman katakan pada mereka yang membangun sebagai bentuk pengingkaran bahwa mereka terlalu bermegah-megahan. Lalu Utsman membawakan sabda Nabi SAW,


مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِى الْجَنَّةِ مِثْلَهُ


“Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” (HR. Bukhari, no. 450; Muslim, no. 533).


Kata Imam Nawawi rahimahullah, maksud akan dibangun baginya semisal itu di syurga ada dua tafsiran:


1- Allah akan membangunkan semisal itu dengan bangunan yang disebut bait (rumah). Namun sifatnya dalam hal luasnya dan lainnya, tentu punya keutamaan tersendiri. Bangunan di syurga tentu tidak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati akan indahnya.


2- Keutamaan bangunan yang diperoleh di surga dibanding dengan rumah di syurga lainnya adalah seperti keutamaan masjid di dunia dibanding dengan rumah-rumah di dunia. (Syarh Shahih Muslim, 5: 14)


Jadi, amalan derma atau sedekah yang kita beri untuk membina atau untuk menyiapkan sebuah masjid walau sekecil mana nilainya di dunia ini, tetapi di sisi Allah ia amat besar. Ini adalah bertepatan dengan hadis di atas, kita akan mendapat rumah atau istana di syurga. Sebesar mana pula istana itu kelak biarlah Allah SWT yang menentukannya.


Kedua: Membaca surat Al-Ikhlas sepuluh kali


Dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy RA, ia berkata bahwa Rasulullah  SAW bersabda,


مَنْ قَرَأَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) حَتَّى يَخْتِمَهَا عَشْرَ مَرَّاتٍ بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْراً فِى الْجَنَّةِ


Siapa yang membaca qul huwallahu ahad sampai ia merampungkannya (surat Al-Ikhlas, pen.) sebanyak sepuluh kali, maka akan dibangunkan baginya rumah di syurga.” (HR. Ahmad, 3: 437. Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguat)


Ketiga: Mengerjakan solat Dhuha 4 raka’at dan shalat sebelum Zuhur 4 raka’at


Dari Abu Musa RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ صَلَّى الضُّحَى أَرْبَعًا، وَقَبْلَ الأُولَى أَرْبَعًا بنيَ لَهُ بِهَا بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ


Siapa yang shalat Dhuha 4 raka’at dan shalat sebelum Zuhur 4 raka’at, maka dibangunkan baginya rumah di syurga.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Dalam Ash-Shahihah no. 2349 disebutkan oleh Syaikh Al-Albani bahwa hadits ini hasan)


 

Keempat: Mengerjakan 12 raka’at shalat rawatib dalam sehari

Dari Ummu Habibah –istri Nabi SAW-, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ


Barangsiapa mengerjakan solat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di syurga.” (HR. Muslim, no. 728)


Dari ‘Aisyah RA, Nabi SAW bersabda,


مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ


Barangsiapa membiasakan solat sunat 12 raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di syurga. 12 raka’at tersebut adalah4 raka’at sebelum  zohor, 2 raka’at sesudah zohor, 2 raka’at sesudah maghrib, 2 raka’at sesudah ‘Isya, dan 2 raka’at sebelum subuh.” (HR. Tirmidzi, no. 414; Ibnu Majah, no. 1140; An-Nasa’i, no. 1795. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)


 

Kelima: Meninggalkan perdebatan

Keenam: Meninggalkan dusta

Ketujuh: Berakhlak mulia

Dari Abu Umamah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ


Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran syurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di syurga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” (HR. Abu Daud, no. 4800. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)


 

Kelapan: Mengucapkan alhamdulillah dan istirja’ (inna ilaihi wa innaa ilaihi raaji’’un) ketika anak kita wafat


Dari Abu Musa Al-Asy’ari RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,


إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِى. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ. فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِى بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ


Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?” Mereka berkata, “Benar.” Allah berfirman, “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku saat itu?” Mereka berkata, “Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).” Allah berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku di syurga, dan namai ia dengan nama baitul hamdi (rumah pujian).” (HR. Tirmidzi, no. 1021; Ahmad, 4: 415. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).


 

Kesembilan: Membaca doa masuk pasar

Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari bapaknya Ibnu ‘Umar, dari moyangnya (‘Umar bin Al-Khattab), ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكُ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيتُ وَهُوَ حَىٌّ لاَ يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ


“Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan, “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiit wa huwa hayyun laa yamuut biyadihil khoir wahuwa ‘alaa kulli syain qodiir (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah yang memiliki kekuasaan dan segala pujian untuk-Nya.” Allah akan menuliskan untuknya sejuta kebaikan, menghapus darinya sejuta kejelekan, mengangkat untuknya sejuta derajat, dan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga.” (HR. Tirmidzi, no. 3428. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if).


Dalam riwayat lain disebutkan, dari Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda,


مَنْ دَخَلَ السُّوْقَ فَبَاعَ فِيْهَا وَاشْتَرَى ، فَقَالَ : لاَ إِلَه َإِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الملْكُ ، وَلَهُ الحَمْدُ ، يُحْيِي وَيُمِيْتُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ، وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الجَنَّةِ


“Siapa yang memasuki pasar lalu ia melakukan jual beli di dalamnya, lantas mengucapkan: Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, yuhyi wa yumiit wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir; maka Allah akan mencatat baginya sejuta kebaikan, akan menghapus darinya sejuta kejelekan dan akan membangunkan baginya rumah di syurga.” (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak, 1: 722)


Meskipun riwayatnya dha’if atau lemah namun karena kita diperintahkan berdzikir ketika orang itu lalai seperti kala di pasar, maka dzikir di atas masih boleh diamalkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,


“إذا تضمنت أحاديث الفضائل الضعيفة تقديراً وتحديداً ؛ مثل صلاة في وقت معين ، بقراءة معينة ، أو على صفة معينة ؛ لم يجز ذلك – أي العمل بها – لأن استحباب هذا الوصف المعين لم يثبت بدليل شرعي ، بخلاف ما لو روي فيه : (مَن دخل السوق فقال : لا إله إلا الله كان له كذا وكذا) فإن ذكر الله في السوق مستحب ، لما فيه من ذكر الله بين الغافلين ، فأما تقدير الثواب المروي فيه فلا يضر ثبوته ولا عدم ثبوته


Jika suatu hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaan suatu amalan dari sisi jumlah atau pembatasan tertentu seperti shalat di waktu tertentu, membaca bacaan tertentu, atau ada tata cara tertentu, tidak boleh diamalkan jika haditsnya berasal dari hadits dha’if. Karena menetapkan tata cara yang khusus dalam ibadah haruslah ditetapkan dengan dalil.


Adapun mengenai doa masuk pasar yaitu haditsnya berbunyi, siapa yang masuk pasar lantas membaca laa ilaha illallah dan seterusnya, maka perlu dipahami bahwa secara umum berdzikir ketika masuk pasar itu disunnahkan. Karena kita diperintahkan berdzikir saat orang-orang itu lalai. Besarnya pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut (hingga disebutkan sejuta, pen.) tidaklah menimbulkan problema ketika bacaan tersebut diamalkan, baik nantinya hadits tersebut dihukumi shahih ataukah tidak. ” (Majmu’ Al-Fatawa, 18: 67)


Dalil umum yang memerintahkan kita banyak dzikir termasuk di pasar adalah hadits berikut.


Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


“Ada dua orang Arab (badwi) mendatangi Rasulullah SAW, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth). Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.


Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524)


 

Kesepuluh: Menutup celah dalam shaf shalat

Dari ‘Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ سَدَّ فُرْجَةً بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الجَنَّةِ وَرَفَعَهُ بِهَا دَرَجَةً


Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karena hal tersebut dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam syurga.” (HR. Al-Muhamili dalam Al-Amali, 2: 36. Disebutkan dalam Ash-Shahihah, no. 1892)


 

Kesebelas: Beriman pada Nabi SAW

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid RA, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,

أَنَا زَعِيمٌ وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ وَأَنَا زَعِيمٌ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى غُرَفِ الْجَنَّةِ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلَمْ يَدَعْ لِلْخَيْرِ مَطْلَبًا وَلَا مِنْ الشَّرِّ مَهْرَبًا يَمُوتُ حَيْثُ شَاءَ أَنْ يَمُوتَ


“Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berhijrah dengan sebuah rumah di pinggir syurga, di tengah syurga, dan syurga yang paling tingggi. Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berjihad dengan rumah di pinggir surga, di tengah surga dan di surga yang paling tinggi. Barangsiapa yang melakukan itu, maka ia tidak membiarkan satu pun kebaikan, dan ia lari dari setiap keburukan, ia pun akan meninggal, di mana saja Allah kehendaki untuk meninggal.” (HR. An-Nasa’i, no. 3135. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)


 

Wednesday, November 1, 2017

Keutamaan Saf Pertama

shaf


Apabila kita masuk ke masjid, ramai di kalangan kita yang rugi kerana kita tidak berdoa ketika masuk ke masjid, kemudian kita duduk di saf belakang, kemudian kita duduk tanpa solat tahiyyatul masjid dan duduk tanpa berniat iktikaf masjid.


Maka bersegeralah menuju masjid, dan carilah saf pertama. kerana ;


1, Pahanya amat besar.


Sungguh, dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW telah bersabda,


لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا


“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak boleh mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580)


2. Allah dan Para Malaikat Bershalawat Kepada Orang-Orang Di Shaf Awal


Dan tidakkah Anda ingin shalat bersama dengan para malaikat. Diriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Adzib bahwa Nabi SAW bersabda,


“إن الله وملائكته يصلون على الصف المقدم، والمؤذن يغفر له مدى صوته ويصدقه من سمعه من رطب ويابس وله مثل أجر من صلى معه”


“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf awal, dan muadzin itu akan diampuni dosanya sepanjang radius suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan An Nasa’i )


Dalam hadits lain dari Nu’man bin Basyir RA beliau berkata, “Aku mendengar Rasululullah SAW bersabda,


إن الله وملائكته يصلون على الصف الأول أو الصفوف الأول


“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf pertama, atau di beberapa shaf yang awal” (HR. Ahmad).


3. Saf para malaikat


عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَال أَلاَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا. فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِى الصَّفِّ


 Jabir bin Samurah RA berkata, “Rasulullah SAW keluar kepada kami dan bersabda, ‘Tidakkah kalian ingin bershaf seperti shaf Malaikat di hadapan Tuhannya?’ Kami (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana Malaikat bershaf di hadapan Tuhannya?” Rasulullah SAW bersabda, ‘Mereka menyempurnakan shaf-shaf awal dan merapatkan shaf.” (HR. Muslim)

4. Shaf terbaik bagi laki-laki


خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا


Shaf kaum lelaki yang paling baik adalah shaf pertama dan shaf yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf kaum wanita yang paling baik adalah shaf terakhir dan yang paling jelek adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)

5. Terhindar dari kemunduran



تَقَدَّمُوا فَائْتَمُّوا بِى وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لاَ يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ


Rasulullah SAW melihat para sahabat mundur ke belakang. Maka beliau pun bersabda, “Majulah dan ikutilah aku. Shaf yang di belakangnya mengikuti shaf depannya. Kaum yang selalu mundur (dalam bershaf), Allah akan memundurkan mereka.” (HR. Muslim)