Wednesday, October 11, 2017

Mahsyar

Semua manusia akan dibangkitkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitankan sebagaimana keadaan mereka ketika pertama kali diciptakan.” Rasulullah lalu membaca: Sebagaimana kami menciptakan (manusia) pertama kali, maka kami akan mengembalikannya. Itu merupakan janji yang akan kami laksanakan.” (Qs Al-Anbiya: 104).


Pada hari itu, sekecil apa pun amal kebaikan yang pernah dilakukan seseorang di dunia sangat berharga untuk melepaskan sebahagian dari seksaan yang dideritanya ini. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesusahan, maka Allah akan melepaskan darinya satu daripada kesusahan yang terdapat pada hari kiamat.” (Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah).


Daripada Abu Qatadah bahawa Nabi s.a.w. bersabda, “Barang siapa yang menginginkan agar Allah menyelamatkannya daripada kesusahan (yang dialami) pada hari Kiamat, maka bantulah orang yang dalam kesusahan, atau kurangilah kesusahannya.” (Riwayat Muslim).


Daripada ‘Uqbah bin ‘Amir bahawa Nabi s.a.w. bersabda, “Seseorang akan berteduh di bawah naungan sedekahnya hingga waktu pengadilan (hisab) tiba.”


Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di “Musnad”-nya. Al-Hafiz Ibn Abi Al-Dunya meriwayatkan daripada Ibn Mas’ud, “Semua manusia dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, sangat lapar, sangat haus dan sangat penat. Barang siapa yang pernah memberikan pakaian kerana Allah, maka Allah akan memberinya pakaian. Barang siapa yang pernah memberi makan kerana Allah, maka Allah akan memberinya makanan. Barang siapa yang pernah memberi minum kerana Allah, maka Allah akan memberinya minuman. Dan barang siapa yang pernah memaafkan karena Allah, maka Allah akan memaafkannya.”


Ulama tabiin kenamaan di kota Mekah, Sufyan bin ‘Uyainah, berkata, “Tidak ada nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya melebihi kebesaran kalimat tauhid: La ilaha illallah. Sebab kalimat ini di akhirat ibarat air sejuk di dunia.”


Diceritakan oleh Imam Al-Hafiz Jamaluddin Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal fi Asma Al-Rijal. Di bawah Naungan Allah Sementara itu, apabila kebanyakan manusia dalam kesusahan, terdapat orang-orang tertentu yang seolah-olah tidak mengalami sebarang seksaan apa pun. Mereka adalah orang-orang yang di dunia telah mengalami kesusahan sekejap demi menjaga agama dan prinsipnya, ketika kebanyakan manusia pada saat itu menikmati keseronokan hawa nafsunya.


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ اِلاَّ ظِلُّهُ : اْلاِمَامٌ الْعَادِلُ. وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ . وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّلَقٌ  بِالْمَسَاجِدِ. وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِيْ اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ. وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَاَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ اِنِّيْ اَخَافُ اللهَ. وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَاَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ. وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ  رواه احمد والبخاري ومسلم والنسائي


Rasulullah s.a.w. bercerita tentang mereka, “Tujuh golongan yang berada di bawah naungan Allah ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya; pemimpin yang adil, pemuda yang tubuhnya sentiasa menyembah Allah, seseorang yang hatinya terpaut kepada masjid jika ia keluar hingga kembali semula, dua orang yang saling mencintai kerana Allah; mereka berjumpa dan berpisah kerana-Nya, seseorang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian hingga meneteskan air mata, seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita cantik dan terhormat namun menolaknya dengan berkata: aku takut kepada Allah, dan seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya.” Hadis sahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim ini mengandung keutamaan luar biasa untuk orang-orang yang memiliki salah satu, apalagi lebih, dari tujuh sifat ini. Iaitu adil, menjaga kebersihan diri sejak muda, sangat mencintai masjid, cinta kerana Allah, mengingat Allah dalam keadaan sendirian, menjaga diri daripada zina, dan bersedekah tanpa mengharap sembarang pujian ataupun balasan.


Imam ahli hadis terbesar di Andalusia Al-Hafiz Ibn Abdil Bar dalam dua kitabnya Al-Tamhid dan Al-Istizkar mentakwil kalimat “naungan Allah” yang disebutkan dalam hadis ini dengan “rahmat Allah.” Sebab mustahil Allah s.w.t. memiliki bayangan hingga manusia dapat berteduh di bawahnya. Ahli hadis yang dikenal dengan gelaran Hafiz Al-Maghrib ini selanjutnya berkata, “Barang siapa yang berada di bawah naungan Allah, maka ia selamat dari kengerian hari kebangkitan dan segala sesuatu yang tengah menimpa manusia lain pada saat itu seperti rasa khuatir, stres dan (seksaan) keringat.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً


“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 5102 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).


Demikianlah keadaan manusia tatkala bertemu dengan Allah Ta’ala di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan. Meskipun demikian, akhirnya mereka diberi pakaian juga. Dan manusia yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيْمُ


“Sesungguhnya orang pertama yang diberi pakaian pada hari Kiamat adalah Nabi Ibrahim.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4371).


Adapun pakaian yang dikenakannya ketika itu adalah pakaian yang dikenakan ketika mati. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


اَلْمَيِّتُ يُبْعَثُ فِيْ ثِيَابِهِ الَّتِيْ يَمُوْتُ فِيْهَا


“Mayit akan dibangkitkan dengan pakaian yang dikenakannya ketika mati.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shohiih at-Targhib wat-Tarhib, no. 3575)


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, tatkala hendak menguburkan jenazah ibunya, beliau meminta agar jenazah ibunya dikafani dengan pakaian yang baru. Beliau mengatakan, “Perbaguskanlah kafan jenazah kalian, karena sesungguhnya mereka akan dibangkitkan dengan (memakai) pakaian itu.” (Fat-hul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, 11/383).



Bagaimana Manusia Digiring Ke Padang Mahsyar?


Manusia digiring ke Padang Mahsyar dengan berbagai kondisi yang berbeda sesuai dengan amalnya. Ada yang digiring dengan berjalan kaki, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:


إِنَّكُمْ مُلاَقُو اللهِ حُفَاةً عُرَاةً مُشَاةً غُرْلاً


“Sesungguhnya kalian akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, berjalan kaki, dan belum dikhitan.” (Hadits shahih. Diriwayat-kan oleh al-Bukhari, no. 6043)


Ada juga yang berkendaraan. Namun tidak sedikit yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّكُمْ تُحْشَرُوْنَ رِجَالاً وَرُكْبَانًا وَتُجَرُّوْنَ عَلَى وُجُوْهِكُمْ


“Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (ke Padang Mahsyar) dalam keadaan berjalan, dan (ada juga yang) berkendaraan, serta (ada juga yang) diseret di atas wajah-wajah kalian.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau mengatakan, “Hadits hasan.” Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahiih at-Targhib wat-Tarhib, no. 3582).


Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ يُحْشَرُ الْكَافِرُ عَلَى وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ الَّذِي أَمْشَاهُ عَلَى رِجْلَيْهِ فِي الدُّنْيَا قَادِرًا عَلَى أَنْ يُمْشِيَهُ عَلَى وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟!


“Wahai Rasulullah, bagaimana bisa orang kafir digiring di atas wajah mereka pada hari Kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bukankah Rabb yang membuat seseorang berjalan di atas kedua kakinya di dunia, mampu untuk membuatnya berjalan di atas wajahnya pada hari Kiamat?!” Qatadah mengatakan, “Benar, demi kemuliaan Rabb kami.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 5020).



Ketika Matahari Didekatkan Dengan Jarak Satu Mil


Kaum muslimin yang kami muliakan, ketika manusia dikumpulkan di padang Mahsyar, matahari didekatkan sejauh satu mil dari mereka, sehingga manusia berkeringat, hingga keringat tersebut menenggelamkan mereka sesuai dengan amalan masing-masing ketika di dunia.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ، قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ : فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيْلِ أَمَسَافَةَ اْلأَرْضِ أَمْ الْمِيْلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ، قَالَ : فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا، وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيْهِ


“Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.” –Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sehingga manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya). Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang tenggelam dalam keringatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan meletakkan tangan ke mulut beliau.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2864)


Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Jarak satu mil ini, baik satu mil yang biasa atau mil alat celak, semuanya dekat. Apabila sedemikian rupa panasnya matahari di dunia, padahal jarak antara kita dengannya sangat jauh, maka bagaimana jika matahari tersebut berada satu mil di atas kepala kita?!” (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, 2/134).


Jika matahari di dunia ini didekatkan ke bumi dengan jarak 1 mil, niscaya bumi akan terbakar. Bagaimana mungkin di akherat kelak matahari didekatkan dengan jarak 1 mil namun makhluk tidak terbakar?


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa pada hari Kiamat kelak tatkala manusia dikumpulkan di padang mahsyar, kekuatan mereka tidaklah sama dengan kekuatan mereka ketika hidup di dunia. Akan tetapi mereka lebih kuat dan lebih tahan. Seandainya manusia sekarang ini berdiri selama 50 hari di bawah terik matahari tanpa naungan, tanpa makan, dan tanpa minum, niscaya mereka tidak mungkin mampu melakukannya, bahkan mereka akan binasa. Namun pada hari Kiamat kelak, mereka mampu berdiri selama 50 tahun tanpa makan, tanpa minum, dan tanpa naungan, kecuali beberapa golongan yang dinaungi Allah Ta’ala. Mereka juga mampu menyaksikan kengerian-kengerian yang terjadi. Perhatikanlah keadaan penghuni Neraka yang disiksa (dengan begitu kerasnya), namun mereka tidak binasa karenanya. Allah Ta’ala berfirman:


كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَ (56)


“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (An-Nisa’: 56). (Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, 2/135)



Golongan Yang Akan Mendapatkan Naungan ‘Arsy Allah Ta’ala


Pada hari yang sangat panas itu, Allah Ta’ala akan memberikan naungan kepada sebagian hamba pilihan-Nya. Tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata.


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: اْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ


“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata.
1.
Imam (pemimpin) yang adil.


2. Pemuda yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Rabbnya.


3. Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid.


4.  Dua orang yang saling mencintai karena Allah, dimana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah.


5. Dan seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan: “Sungguh aku takut kepada Allah.”


6. Seseorang yang bershodaqoh lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.


7.   Dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, II/143 – Fat-h, dan Muslim, no. 1031).


Golongan lain yang mendapatkan naungan Allah Ta’ala adalah orang yang memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan membayar hutang kepadanya atau memutihkan hutang darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ


“Barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada orang yang sedang kesulitan membayar hutang atau memutihkan hutang orang tersebut, niscaya Allah akan menaunginya dalam naungan Arsy-Nya (pada hari Kiamat).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3006)


Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah taufiq dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi bagian dari golongan yang mulia ini. Amin


Sumber: https://muslim.or.id/7416-peristiwa-di-padang-mahsyar.html


 

Ketika manusia dibangkitkan di Mahsyar

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفُاةً عُرَاةً غُرْلاً  قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ  النِّسَاءُ وَالرِّجَالُ جَمِيْعًا؟  يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ اِلَى بَعْضٍ!  قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  يَا عَائِشَةُ اَلاَمْرَ اَشَدُّ مِنْ اَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ اِلَى بَعْضٍ  =متفق عليه=


“Manusia dikumpulkan pada hari kiamat keadaan tanpa beralas kaki, telanjang, belum di khitan”. Aku bertanya : “Ya Rasulallah, perempuan dan laki-laki semuanya? Sebagian mereka akan melihat kepada sebagian yang lain”. Beliau saw bersabda : “Hai A’isyah, urusan pada saat itu lebih dahsyat ketimbang sebagian melihat kepada sebagian yang lain”. =HR. Muttafaqun ‘Alaih=

Sahabat Rasul Sya’ban RA yang Menyesal Saat Sakaratul Maut

 sahabat

Syaaban ialah seorang sahabat nabi SAW yang sentiasa solat berjemaah di Masjid Nabawi walaupun rumahnya jauh jaraknya dari masjid. Dia biasanya akan duduk iktikaf di sudut yang agak jauh dari para sahabat yang lain, sehingga para sahabat tahu itulah tempat duduk Syaaban ketika beliau berada di masjid.



Pada sautu Subuh, Rasulullah SAW berasa hairan kerana Syaaban tiada ditempat biasanya.


Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban?” Seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia tahu diana rumah Sya’ban.


Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban tapi sayangnya Syaban telah meninggal dunia.


 “Apa  kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.


Jawab isteri Syaaban ; kami pening dan tak faham apa perkataaan yang disebutnya. “Dia bekata  kenapa tidak lebih jauh, kenapa tidak yang baru,  kenapa tidak semua,


Rasulullah SAW pun membaca ayat 22 surah Qaaf.


لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ


“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami bukakan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”


“Saat Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya diulang tayangkan  oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Sya’ban ra (dan orang yang sakaratul maut) tidak akan disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana aktiviti hariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalat berjemaah lima waktu.  Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.


Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat dia berucap “sayangnya, mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.


Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang biasa digunakan mungkin sudah kotor terkena debu dsb (lama) di luar.


Dia berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid dia boleh membuka baju luar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun hiba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.


Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan bajunya yang di bahagian luar (ysng lama)kepada orang tersebut. Kemudian dia berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Sya’ban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.


Berikutnya, Sya’ban ra melihat lagi suatu adegan. Ketika dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. . ketika baru saja ingin memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban ra merasa hiba. Ia kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain memperlihatkan Sya’ban ra dengan surga yang indah.


Ketika melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!” Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis  tersebut, pasti dia akan mendapat syurga yang lebih indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak yang yang terbaik.


Seseungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang meminta untuk ditunda matinya, karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas dari semua perbuatannya di dunia. Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat didahulukan dan tidak dapat diakhirkan.